Puber. Itu kata guru biologiku. Tapi, temanku, Jasmin, lebih senang menyebutnya mamalia, alias mengunyah untuk kedua kalinya. Jasmin memang paling ekstrim dan aneh. Segala sesuatu dalam pikirannya selalu unik, tak terduga.
"Kau baru dikunyah lagi!" katanya sambil mengunyah permen karet.
"Apanya yang dikunyah lagi?" tanyaku heran karena tidak mengerti maksudnya."Apa hubungannya orang sedang bingung dengan dirinya sendiri dengan mengunyah?"
"Ah, bodoh kau ini. Masak gitu aja tak mengerti?! Payah!" Dia lalu mengunyah permen karet yang kedua. "Begini," lanjutnya. "Semua yang ada di dunia ini saling berkaitan. Jadi, apapun bisa dihubung-hubungkan. Masih bingung kau?" dia melototi mataku yang masih heran. Aku menahan tawa dalam hati karena tingkahnya lucu sekali. Aku mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Bego kau ini, masak gitu aja ga mengerti?" Ia menghela nafas dan mengunyah permen karet itu lagi.
"Ibaratnya nih, kau sedang lahir kedua kalinya. Artinya, kelahiranmu yang pertama hanya sekedar membuka mata saja, ga mikir. Cuma nongol doang, lalu mutar-mutar sampai 14 tahun dan tidak tahu apa-apa. Makanya, matamu bersih kayak bayi, terlalu sering ditutupi sampe ga sempat cuci mata hahahha.." ia tertawa. Aku ikut tertawa.
"Huss…jangan ketawa. Ngerti ga maksudku?" katanya sambil menjuntul kepalaku. Aku hanya menggeleng. Sebenarnya, aku mengerti maksudnya, cuma tingkahnya membuatku melupakan logikaku dulu.
Karena tidak puas dengan jawabanku, Jasmin segera pamit dan pergi meski omelannya turut menghiasi wajahnya.
Beberapa hari yang lalu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Di tengah malam, mataku susah untuk dipejamkan. Jangankan bermimpi, masuk ke alam tidur aja, susahnya minta ampun. Akibatnya, lingkaran hitam mengelilingi kelopak mataku. Hiasan hitam itu diperparah lagi dengan mataku yang selalu ngantuk saat jam pelajaran.
"Kekuatan mata itu hampir sama kinerjanya dengan listrik. Kalau dayanya sudah berkurang, maka bisa dipastikan cahayanya akan berkurang. Begitu juga dengan matamu!" teriak Pak Gilang menasehatiku setelah menangkap basah aku yang tertidur pulas saat jam pelajaran Fisika.
Aku dihukum berkali-kali oleh beberapa guru. Mulai dai cuci muka, menulis esei, sampai mengepel lantai ruangan. Tapi itu tidak seberapa. Yang membuatku tersiksa justru sesuatu yang mengganggu ini. Perempuan. Ya, perempuan. Aku menemukannya dalam mimpiku tadi siang, saat Pak Ihcsan memergokiku tidur saat pelajaran Sosial. Perempuan itu telah menampakkan wajahnya. Karena itu, aku bisa tertidur pulas. Aku senang sekaligus juga tersiksa.
"Barangkali, kau sedang jatuh cinta, Simon," begitu terang teman-temanku saat tahu aku tidak pernah konsentrasi.
"Biasanya, cinta itu membuat semuanya jadi kacau, apalagi kalau cintanya bertepuk sebelah tangan," tambah mereka lagi.
Aku semakin pusing. Apa betul ini yang namanya jatuh cinta? Ah, aku harus bertanya pada seseorang tentang ini. Akhirnya, kuputusakan untuk bertanya pada guru BP alias guru konseling.
"Apa???!!!" teriak Bu Lastri sambil berdiri. Matanya melototi aku dengan beringas.
Aku terperanjat melihat reaksinya. Padahal, aku cuma mengatakan satu kalimat.
"Kau tanya tentang cinta?" teriaknya lagi. Matanya coklat. Indah sekali. Namun tubuhnya, gemuk seperti tong sampah di sebelah rumahku. Tampangnya menakutkan. Namun, aku tertawa dalam hati melihat keterkejutannya.
"Sini kamu!" Ia menyuruhku mendekat. Aku setengah takut.
"ceritakan, apa maksudmu tentang cinta?" ia bertanya penasaran. Jarak antara aku dan Bu Lastri tidak lagi berjauhan. Kini tinggal satu meter. Ia mendongakkan kepala menunggu jawabanku. Alis matanya dimainkan, genit sekali.
"Saya cuma mau tanya, Bu. Bagaimana rasanya kalau jatuh cinta?"
"Lha, kamu sedang jatuh cinta ya, hayoo…" Bu Lastri jadi cengengar-cengingir.
Dia yang tadi setengah kaget, sekarang tersipu-sipu.
"Bu, kalau saya tahu, bagaimana mungkin saya ke sini?" jawabku kesal.
"Lalu siapa dong yang jatuh cinta?"
Aku jadi bingung. Jawabannya belum kutemukan. Mungkin saja aku.
"Anu Bu. Saya Cuma dibilangi teman-teman. Katanya, kalau orang sedang jatuh cinta, apa betul susah tidur?" tanyaku dengan polos.
Bu Lastri berpikir sejenak. Sejurus kedua bola matanya beralih ke kanan atas. Aku mengikutinya. Gayanya semakin keren tatkala ujung jari telunjuknya bergerak-gerak di bibirnya. Ia seperti komputer pentium 2, loading, alias sedang mikir. Aku menunggu sekitar sepuluh menit. Rasanya hampir setahun, setelah itu ia menjawab.
"hmmmm…dulu Ibu juga begitu," jawabnya. Aku terperangah. Setahuku, Bu Lastri belum kawin, apalagi punya pacar. Ya, bukan bermaksud mengejek sih. Badannya memang tidak menarik. Malah, ia dijuluki satpam sekolah. Tampangnya sangar seperti Tike Panggabean, badannya tinggi, gempal, dan….gemuk tak karuan. Kalau sedang berjalan, ia seperti kerbau dicucuk hidungnya. Lantai sekolah seringkali bergetar. Kalau sudah begitu, murid-murid pasti tahu keberadaannya.
"Hah?" aku bereaksi spontan. Reaksiku malah membuat Bu Lastri tersipu-sipu.
"Iya. Ibu dulu begitu. Kamu jadi mengingatkan saya tentang cinta pertama Bu Lastri saat kuliah dulu, Romantis sekali". Bu Lastri menjadi sumringah. Ia menebar senyum di bibirnya. Ia melangkah ke ujung ruangan, lalu membuka sebuah buku. Aku mengamati tingkahnya. Lalu, ia membolak-bolak buku itu dan berhenti pada satu halaman. Ia seperti terkubur di sana. Hanya senyumnya yang tak kunjung berhenti mengulum. Ia sedang kasmaran. Lalu, ia membawa buku itu padaku.
"Kau betul-betul mengingatkan Ibu tentang masa lalu". Ia menarik nafas dan membuangnya sembarangan. Uh..nafasnya bau sekali. Aku tidak tahan dan segera mundur. Namun, ceritaku menjadi pemantik keceriaannya. Ia tidak tahu kalau aku sedang menahan uap nafasnya yang bau.
"Ibu hanya bisa mengatakan bahwa cinta memang bisa membuat sesuatu menjadi aneh," terangnya lagi. Ia kemudian duduk lagi sambil memegang buku itu.
"Buku ini adalah kenangan masa laluku. Kau mengingatkannya kembali. Sudah begitu lama!" desahnya.
Aku tak habis pikir. Apa ia juga sedang jatuh cinta? Atau sedang jatuh cinta pada masa lalunya? Entahlah. Yang aku tahu, Bu Lastri menjadi asing bagiku. Ia sudah seperti momok bagiku. Namun, kali ini, ia menunjukkan sisi lain kepribadiannya. Kesimpulanku hari ini: cinta memang bisa membuat orang menjadi lain dan terkadang aneh.
"Bu," sahutku. Bu Lastri sibuk dengan lamunannya. Ia kemudian memandangiku setelah sadar dengan raut wajahkku yang kebingungan. Ia memperbaiki posisi duduknya dan mengajakku berbicara.
"Simon, cinta itu memang bisa mengakibatkan penyakit. Namanya penyakit cinta. Siapapun yang terkena virusnya, ia akan berubah menjadi lain. Salah satunya adalah pikiran yang tak pernah damai dan tenang. Perkataanmu tadi betul adanya. Bisa jadi kita tidak bisa tidur karena terlalu memikirkannya". Ia kemudian bercerita tentang cinta pertamanya. Kisahnya sangat romantis. Namun, akhir ceritanya tidak menyenangkan. Karena kehilangan kekasih, Bu Lastri memutuskan untuk tidak menikah. Ia tetap setia pada kekasihnya yang telah meninggal dunia. Ia memutuskan untuk menjadi lajang.
Setelah diakhiri dengan tangisan yang memilukan, ia memintaku untuk segera keluar dari ruangannya. Ia berpesan agar tidak membocorkan rahasianya. Aku menjadi heran.
***
Dia selalu saja hadir di sana, mimpiku. Aku memang mengenalnya. Namun tak memiliki keberanian untuk sekalipun berbicara dengannya. Perempuan yang juga menjadi siswa di kelas sebelah. Kelas 8. Aku sekarang duduk di kelas 9. Pertemuanku dengannya hanya kebetulan saja. Pertemuan antar ketua kelas menjadi kenangan pertama kami. Ia duduk di sebelahku saat ketua OSIS memimpin pertemuan.
Tak lama setelah itu, ia berpendapat tentang kegiatan sekolah yang akan diadakan bulan depan. Ia mengusulkan agar sekolah mengadakan pentas seni tentang budaya Indonesia. Idenya sangat brillian. Ia ingin mengadakan parade pakaian tradisional Indonesia dengan design modern. Semua siswa diminta untuk merancang sendiri pakaian daerah di Indonesia kemudian mewujudkannya dalam pagelaran pentas seni.
Aku senang melihat keberaniannya saat pertemuan itu. Ia sungguh luar biasa. Diam-diam aku mengaguminya. Ia sangat elegan dan cantik. Sejak saat itu, aku sangat merindukannya. Entah kenapa. Namun, aku hanyalah lelaki yang belum mengenal cinta. Semuanya terasa asing bagiku.
"Gila Kamu, Mon. Gitu aja dibikin pusing!" hardik Reno teman baikku. Dia terkenal playboy di sekolah. Menurut kabar, dia sudah berpacaran sebanyak 5 kali sejak SD. Tampangnya memang oke, apalagi otaknya, encer kayak air sungai. Ditanya apapun, dia langsung menyahut. Jawabannya sangat menyakinkan. Ga salah kalau cewek-cewek langsung naksir sama dia.
"Tenang aja. Dulu aku juga begitu. Tapi, sebagai laki-laki, jangan pernah menyerah. Urusan cinta mah kecil. Gampang! Tinggal bilang, yakinkan dan kejar terus. Yang penting, kita tetap berusaha. Kalau perlu, ga usah malu sekalian. Tembak terus, pasti dia bakalan menyerah. Kalau sampai ga, umumin kalau dia ga laku biar semua orang pada ga suka sama dia. Mau?"
"Gila kamu, No. Aku tidak mau pakai cara yang begitu. Itu namanya pemaksaan. Cinta tidak boleh dipaksa!" kataku tidak setuju.
"Itu bukan pemaksaan tapi pengorbanan. Kalau diam saja, ya percuma. Kamu yang sakit sendiri. Cinta itu butuh perjuangan. Jangan menyerah. Kalau tidak jadi pun ya pake prinsipku. Patah tumbuh hilang berganti. Satu mati tumbuh seribu!" jawabnya dengan pede.
"Ngawur kamu. Memangnya kita mau nanam pohon atau cinta. Salah kamu, No. Cinta memang butuh pengorbanan, tapi harus tetap menghargai wanita. Mereka juga kan manusia. Masak disamakan dengan pohon? Gila kamu!"
"Lho, yang nyamain dengan pohon siapa? Itu kan prinsip cintaku. Kalau kamu ga setuju juga gapapa. Tapi ingat, cinta bertepuk sebelah tangan itu..ibarat hidup setengah badan alias lumpuh, kaku, dan mati rasa. Hidup rasanya berjalan setengah. Kamu sekarang kayak gitu. Aneh dan pengecut. Masak nyelesaian itu ga berani? Mikir dong, Mon. Jantan dikit!" Ia mendesakku. Aku sedikit tersinggung.
"Ya juga sih. Kata teman-teman aku sedang jatuh cinta. Tapi..aku juga bingung. Apa ini yang namanya cinta?"
"Kalau bukan cinta, ya apalagi? Masak gejala sinting? Atau jangan-jangan kamu memang mau jadi sinting hahahhahah….!" ia tertawa terbahak-bahak. Aku menerima saja.
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu," katanya lagi. "Aku Cuma kasihan melihat kamu. Maklumlah, kamu kan belum berpengalaman. Tapi..aku mau membantumu keluar dari perkara ini. Sebenarnya gampang, asal kamu mau menurut. Perkara diterima atau tidak, kita harus bijaksana. Cinta tak boleh dipaksa, kan?" ia melirikku.
"Bagiku, cinta itu adalah pilihan. Kalau kita berhenti atau mundur, sama saja dengan hancur. Jangan mau lebur sebelum bertempur. Ingat itu. Mari buktikan. Cinta hanyalah perjalanan yang membawa kita mengenal perempuan. Manusia yang paling misterius." Ia tampak sangat bersemangat.
"Lalu, apa yang akan aku lakukan?"
"Tenang saja, kawan. Semua ada rumusnya. Cinta itu masalah matematika. Mainkan rumusnya, dapatkan hasilnya. Kalau salah rumus, cari rumus yang lain. Kalau tidak ketemu, pake rumus pytagoras. Semuanya akan menemukan sudut cintanya masing-masing. Tinggal koneksi aja. Kalau sudah pas, bilang saja."
"Aku tidak mengerti," kataku.
"Bodoh benar kau ini. Begitu saja tidak mengerti. Mau bahasa yang lebih sederhana? Gini maksudku.
"Cinta itu sama dengan x. Kamu variabel pertama dan dia variabel kedua. Nah, kalau mau menemukan x, maka samakan variabelnya. Itu baru namanya klop. Ngerti?"
Aku menggeleng. Ia menggerutu. Ia diam sebentar sambil berpikir.
"Nah, gini. Kalau sampe kamu tidak mengerti, maka kamu memang mahluk Tuhan yang paling botol alias bodoh dan tolol. Imut alias idiot tak bermutu. Ngerti kamu?" ia menggertak. Dia lalu membuka buku catatan dan menuliskan guratan hitam di sana. Di sana, terpampang gambar wanita dan laki-laki. Jaraknya berjauhan.
"Gelombang elektromagnetik, itu mampu membangkitkan getaran cinta. Nah, kamu kan sedang jatuh cinta nih, energimu cukup besar, namun tidak beraturan. Kamu harus fokus dan tenang. Jangan panik kalau bertemu dengan dia. Meski jantungmu deg-degan, tunjukkan kalau kamu berwibawa. Kalau sudah begitu, secara otomatis, energi cintamu akan berpindah ke dia. Ia akan merasakannya. Ingat, perempuan itu sangat peka dengan tatapan, perhatian, dan charming alias auramu. Jangan biarkan dia ilfil ketika melihat kamu. Sampai di sini mengerti?"
Aku mengangguk.
"Gitu dong. Dari tadi kek. Kita lanjutkan," katanya sambil mempresentasikan tips-tips cintanya.
"Kamu harus menyamakan frekuensimu dengan dia. Buat dia mengenal kamu secara tidak langsung. Setelah itu, pedekate alias pendekatan. Jangan langsung main hakim sendiri. Rasakan kehadirannya dan bawa dia mengikuti permainanmu. Bicaralah dengannya secara perlahan-lahan. Jangan menunjukkan sikap yang berlebihan. Biasa saja. Memang rasanya sulit, tapi sebagai laki-laki, kita harus menunjukkan wibawa kita. Mengerti?"
Lagi-lagi aku mengangguk.
"Nah. Cara praktisnya adalah begini. Rumusnya: X + Y = Cinta. X harus melakukan permutasi dengan menjadi O + W = TP. O adalah observasi dan W adalah wibawa. Hasilnya TP atau tebar pesona. Kemudian, TP + Skill : Pengorbanan = perkenalan. Nah, di sini, Perkenalan harus dikuadratkan menjadi keberanian. K atau keberanian harus berbanding lurus dengan waktu dan emosi. Kalau sudah terpenuhi, tinggal cari waktu dan nyatakan cintamu. Buat dia tergila-gila padamu. Tunjukkan potensimu. "
Reno lalu memberi ide untukku. Aku mempercayainya. Aku memberanikan diri untuk membuktikan hipotesisnya. Dan hari itu, aku mengawali petualangan baru, menjadi orang baru yang sekaligus juga aneh.
***
"Bagaimana hasilnya?" tanya Reno dan kawan-kawan menghampiriku. Aku berjalan lesu.
"Dia menolakmu?" desak mereka lagi.
Aku menggeleng. Mereka berkerumun dan sibuk bertanya pada diri mereka sendiri.
"Sudahlah. Hidup harus berjalan," rajuk Reno. Ia duduk di sampingku. Suasana menjadi sepi. Teman-temanku yang lain menggerutu dengan diri mereka sendiri. Banyak di antara mereka tidak percaya. Setelah hampir 3 bulan, aku sudah menjalankan ide Reno. Awalnya berjalan manjur, dan….
"No, kamu menipuku," bibirku terasa bergetar. Reno tersentak.
"Maksudmu?" tanyanya.
"Kau memang betul dengan semua teorimu, tapi…tidak pantas untukku," kataku menahan sakit di hati. "Aku bukanlah orang yang tepat dengannya."
"Kenapa? Ada apa denganmu?" Reno mendesakku lagi. "Bukankah semua kulakukan untuk membantumu? Apa yang salah?"
Aku menarik nafas, mencoba mengingat kembali pertemuan kemarin.
Hujan masih belum reda saat aku mengunjungi rumahnya. Teori pertama yang dianjurkan Reno ternyata manjur. Perkenalan dengan keluarganya telah berhasil kuatasi. Variabel sampingannya telah sukses teratasi. Teori kedua tentang aura, juga sudah kulakukan. Tak butuh beberapa lama untuk meyakinkan dia mengenalku dan mau berteman denganku. Teori ketiga, teori momentum. Ini adalah teori terakhir yang tidak berhasil kulakukan.
"Teorimu yang ketiga tidak pas untukku, No," aku mendesis. Ia mendengarkan. "aku tidak sepenuhnya kecewa. Paling tidak, ada yang pantas kubanggakan yang akan kuberitahukan padamu."
Ia semakin bingung.
"Maksudmu? Kau ditolak tapi tetap senang?"
"Ya".
"Aneh. Kamu memang aneh. Akhir dari perjuanganmu memang seharusnya sedih. Tapi, aku tidak melihat kesedihan itu dalam wajahmu".
"Ya. Aku akan tetap tersenyum. Kau kan yang bilang begitu. Lagipula, cinta kan tidak bisa dipaksa dan tidak harus memiliki." Dalam hati aku menangis. Aku tidak bisa memilikinya.
"Ini, ada sesuatu untukmu," kataku sambil memberi dia selembar surat yang dibungkus dalam amplop putih.
"Surat? Surat dari siapa?" Dia sempat menolak.
"Bacalah setelah aku keluar dari ruangan ini. Gunakan logika dan kepintaranmu. Aku cuma meminta satu hal untukmu. Jangan mengecewakan dia." Lalu aku meletakkan surat itu di meja dan meninggalkannya.
Aku tahu, aku bukanlah laki-laki yang sedang dipilih cinta untuk menjadi kekasihnya. Meski gayung tak bersambut, aku tidak akan kecewa. Cinta memang tak harus memiliki sebab cinta juga pemilih. Hari ini, aku akhiri petualanganku dengan dia. Kulepaskan dia untuk temanku, Reno. Sejak dulu, dia ternyata memilih Reno ketimbang aku. Selama ini, ia hanya menginginkan Reno, sosok yang dia idamkan. Aku hanyalah pembuka jalan untuk memberitahu keinginannya. Pengakuannya yang jujur mungkin membunuhku tadi malam, namun kehidupan yang dia jalani ternyata tidak adil untuk dia. Tidak adil untuk aku juga. Dia telah menahan begitu banyak penderitaan, bertahan hidup karena sosok Reno. Penyakit yang dia derita sebenarnya sudah merenggut hidupnya sejak dulu. Namun, satu tahun silam, ia merasakan getaran hidup yang tak pernah dia rasakan sejak mengenal Reno. Ah, aku adalah laki-laki yang jatuh cinta pada ketiadaan, bayangan perempuan yang terenggut oleh cintanya pada orang lain.